Ustadz, saat di rumah jika setelah berwudhu saya bersalaman dengan Ibu saya, apakah wudhu saya batal? Evan, Siswa Kelas 6 Halaqah Muadz
Bismillah,Menurut madzhab Syafi’i, bersentuhan lawan jenis antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram dapat membatalkan wudhu dengan dalil berikut ini:
QS. Al Maidah : 6
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِۗ وَاِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْاۗ وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ مِّنْهُ ۗمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِّنْ حَرَجٍ وَّلٰكِنْ يُّرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهٗ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
Dalam madzhab Syafi'i: Ibu dan anak adalah mahram. Jadi andai setelah berwudhu saling bersentuhan, ia tidak membatalkan wudhu.
Usman Baco Sau
Ustadz, Bagaimana nasib anak kecil yang non muslim jika mereka meninggal. Apakah mereka di Surga atau di Neraka? Pertanyaan ananda Nayfah, siswi kelas 4 Sekolah Islam Bilingual Ibnu Abbas BSD
Syaikh ‘Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah (dalam Majmu Fatawa wa Maqalat Assyaikh Bin Baz, 3/163) menjawab:
Jika anak tersebut belum mukallaf (terkena beban syariat), dan kedua orang tuanya kafir, maka hukumnya sebagaimana yang berlaku bagi orang tuanya. Yaitu tidak dimandikan, tidak dishalatkan, dan tidak boleh dimakamkan di pemakaman kaum muslimin. Sedangkan di akhirat, kembali kepada kehendak Allah Ta’ala. Terdapat hadits shahih dari Rasullah shallallahu ’alaihi wasallam, ketika ditanya tentang nasib anak-anak orang musyrik, beliau menjawab:
الله أعلم بما كانوا عاملين
“Allah Maha Mengetahui tentang apa yang mereka perbuat.” (Muttafaqun ‘alaih)
Menurut penjelasan sebagian ulama tentang hadits ini, artinya Allah akan menampakkan apa yang Ia ketahui tentang nasib anak-anak tersebut di hari kiamat kelak. Mereka akan diuji dengan pertanyan, sebagaimana pengujian terhadap ahlul fathrah atau semacam mereka. Jika mereka bisa menjawab pertanyaan tersebut, mereka akan masuk surga. Jika mereka tidak bisa menjawab, mereka akan masuk neraka.
Banyak sekali hadits shahih yang membahas tentang pengujian terhadap ahlul fathrah, yaitu orang-orang yang sama sekali belum pernah mendengar ajaran para Rasul, atau yang semisal mereka, seperti anak-anak kecil kaum musyrikin. Hal ini didasari oleh firman Allah ‘Azza Wa Jalla:
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا
“Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (Qs. Al Isra: 15)
Pendapat ini adalah pendapat yang lebih tepat dari beberapa pendapat yang ada tentang status ahlul fathrah atau orang yang semisal mereka. Pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, juga murid beliau, Ibnu Qayyim, juga sejumlah ulama terdahulu, serta para ulama setelah mereka, semoga Allah merahmati mereka.
Wallahu A'lam
Usman Baco Sau
Guru Tarbiyah Qur'aniyah SIBIA BSD
Sebagai seorang guru, saya selalu belajar dari setiap murid yang saya ajar. Belajar sambil mengajar. Begitulah kira-kira singkatnya. Guru yang selalu belajar maka tak akan habis ‘sihirnya’ dihadapan para murid. Bagaikan iman yang tak lengkap tanpa amal, begitulah materi pengajaran; kurang lengkap kiranya jika tidak berbekal banyak metode pengajaran.
Betapa senangnya saya hari ini, banyak inspirasi dan motivasi yang saya serap dari para murid kelas 6 halaqah Muadz A dan B.
“Apa yang terbesit dalam hati kalian semua saat mendengar nama Rasulullah SAW disebut?”
Saya tanyakan sambil memulai pelajaran pagi tadi. Pelajaran tarbiyah kali ini bertajuk #muhammadteladanku mengupas ayat qur’an di surah al-Ahzab: 21.
Si A menjawab, “Rindu dan sedih”. Saya pun penasaran akan jawabannya. Apa sih yang engkau maksud dengan rindu dan sedih? Lalu ia menjelaskan dengan mata berkaca-kaca, “Aku rindu kepada Rasulullah SAW karena belum pernah melihat beliau. Dan aku sedih karena terlalu banyak siksaan yang telah dilakukan orang-orang Musyrikun kepada beliau.” Maa syaa Allah, jawabannya membuatku terkagum.
Anak sekecil ini sudah sangat merindukan Nabinya bahkan memahami kesedihan baginda Nabi akibat siksaan musuh-musuhnya.
Murid yang lain seakan tak mau ketinggalan; Si B pun mengangkat tangan. “Aku ingin mesin waktu ustadz!” Belum selesai ia menjawab, murid-murid lain pun tertawa padanya. Tapi ia mencoba melanjutkan penjelasannya, “Maksud saya; dengan mesin waktu saya bisa hidup bersama Nabi Muhammad agar aku bisa membersamainya di medan jihad para perang badar atau uhud.” Maa syaa Allah, tawa sebelumnya berubah menjadi haru.
Satu demi satu para murid menjawab secara bergantian. "Aku ingin mendengar langsung suara indah Rasulullah saat mengimami para sahabat ustadz." Sahut murid yang duduk terdepan dekat saya. Walau memang ada beberapa murid yang tak dapat berkata-kata. Entah karena Rasulullah begitu amazing hingga ia takut memilih diksi atau memang karena ia belum mampu menjawab.
Maa syaa Allah begitu antusiasnya mereka mengungkapkan kerinduannya kepada Baginda Nabi. Terimakasih murid-muridku!
Tak terasa saat ini kita sudah berada di bulan rabiul awwal dalam tanggalan hijriyah. Masjid-masjid mulai merencanakan agenda kajian mengenang baginda Rasulullah SAW.
Buat kita para orangtua, sebelum kita mengajarkan cinta nabi kepada anak-anak kita maka berkacalah. Jangan sampai pengetahuan tentang nabi lebih dipahami anak daripada kita.
Setiap yang mencintai selalu menyebut dan mengenang sang kekasih. Karena rindu perlu bukti. Karena cinta butuh pengorbanan. Begitulah seharusnya kita sebagai perindu Nabi untuk membuktikan cinta padanya.
Tak perlu memulai dari yang berat. Sudahkah kita bershalawat padanya hari ini? Sunnah nabi mana yang sudah kita jaga setiap hari? Saat Nabi begitu peduli pada sahabatnya, maka sepeduli apa kita pada anak, orangtua, keluarga, atau bahkan tetangga?
Jika saja anak SD begitu paham tentang rindu Nabi, maka sejatinya kita yang sudah mukallaf seharusnya rindu tanpa tepi. Tak perlu 'bermaulid' untuk membangun rindu. Cukup bertanya: "Apakah benar aku sudah layak menjadi ummat Nabi?"
Shallallahu 'alaika ya Rasulallah... 😇
Abu Qudsy, 10/9/24
(Semua percakapan di atas, selama di kelas mengalir dengan bahasa arab.)