Bag 1
Salah satu syiar Islam yg mulai ditinggalkan oleh kaum muslimin adalah dzikir setelah sholat, entah karena kebiasaan masyarakat setempat, atau karena para orang tua yang tidak mengajarkan dzikir kepada anak-anaknya selepas sholat. Sedangkan dzikir selepas sholat fardhu adalah sebuah amalan-amalan yang hampir tidak pernah terlepas dari lisan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam.
Sangat disayangkan jika anak-anak kita tidak dibiasakan berdzikir selepas sholat, sehingga menyebabkan hilangnya berbagai kebaikan di dalamnya.
Berangkat dari situlah Kuttab Ibnu Abbas membiasakan peserta didik untuk berdzikir selepas sholat dengan jahr (suara dikeraskan).
Para Ulama berbeda pendapat tentang hukum mengeraskan suara dzikir selepas sholat.
Sebagian Ulama seperti Imam Syafii menganggap sunnah, dengan tujuan pembelajaran.
Adakah Dalil yang dipakai oleh Imam Syafi’i?
Dari Ibnu Jarir, ia berkata, ‘Amr telah berkata kepadaku bahwa Abu Ma’bad –bekas budak Ibnu ‘Abbas- mengabarkan kepadanya, bahwa Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata:
أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ الْمَكْتُوبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – . وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ
“Mengeraskan suara pada dzikir setelah shalat wajib telah ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Ibnu Abbas berkata, “Aku mengetahui bahwa shalat telah selesai dengan mendengar hal itu, yaitu jika aku mendengarnya.” (HR. Bukhari no. 805 dan Muslim no. 583)
Dalam riwayat lainnya disebutkan,
كُنَّا نَعْرِفُ انْقِضَاءَ صَلاَةِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِالتَّكْبِيرِ
“Kami dahulu mengetahui berakhirnya shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui suara takbir.” (HR. Bukhari no. 806 dan Muslim no. 583)
Dari hadits-hadits inilah sebagian Ulama mengatakan bahwa mengencangkan dzikir sunnah dilakukan, terlebih dalam masa-masa pembiasaan dan pembelajaran.
Allahu A’lam
(Basthoh)
Salah satu syiar Islam yg mulai ditinggalkan oleh kaum muslimin adalah dzikir setelah sholat, entah karena kebiasaan masyarakat setempat, atau karena para orang tua yang tidak mengajarkan dzikir kepada anak-anaknya selepas sholat. Sedangkan dzikir selepas sholat fardhu adalah sebuah amalan-amalan yang hampir tidak pernah terlepas dari lisan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam.
Sangat disayangkan jika anak-anak kita tidak dibiasakan berdzikir selepas sholat, sehingga menyebabkan hilangnya berbagai kebaikan di dalamnya.
Berangkat dari situlah Kuttab Ibnu Abbas membiasakan peserta didik untuk berdzikir selepas sholat dengan jahr (suara dikeraskan).
Para Ulama berbeda pendapat tentang hukum mengeraskan suara dzikir selepas sholat.
Sebagian Ulama seperti Imam Syafii menganggap sunnah, dengan tujuan pembelajaran.
Adakah Dalil yang dipakai oleh Imam Syafi’i?
Dari Ibnu Jarir, ia berkata, ‘Amr telah berkata kepadaku bahwa Abu Ma’bad –bekas budak Ibnu ‘Abbas- mengabarkan kepadanya, bahwa Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata:
أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ الْمَكْتُوبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – . وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ
“Mengeraskan suara pada dzikir setelah shalat wajib telah ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Ibnu Abbas berkata, “Aku mengetahui bahwa shalat telah selesai dengan mendengar hal itu, yaitu jika aku mendengarnya.” (HR. Bukhari no. 805 dan Muslim no. 583)
Dalam riwayat lainnya disebutkan,
كُنَّا نَعْرِفُ انْقِضَاءَ صَلاَةِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِالتَّكْبِيرِ
“Kami dahulu mengetahui berakhirnya shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui suara takbir.” (HR. Bukhari no. 806 dan Muslim no. 583)
Dari hadits-hadits inilah sebagian Ulama mengatakan bahwa mengencangkan dzikir sunnah dilakukan, terlebih dalam masa-masa pembiasaan dan pembelajaran.
Allahu A’lam
(Basthoh)