Memuliakan ahli ilmu dan menghormatinya merupakan sikap para salafus salih. Mereka melakukan itu karena mengharap keberkahan ilmu dari gurunya.
Sahabat Ali bin Abi Thalib, yang oleh Rasulullah SAW disebutkan sebagai pintu ilmu. Beliau mengatakan:
أنا عبد من علمني حرفا واحدا، إن شاء باع وإن شاء استرق
“Saya menjadi hamba sahaya orang yang telah mengajariku satu huruf. Terserah padanya, saya mau dijual, dimerdekakan ataupun tetap menjadi hambanya.”
Syaikh Az-Zarnuji dalam Ta’lim Al-Mut’allim mengisahkan, suatu saat Khalifah Harun Ar-Rasyid mengirimkan putranya kepada Imam Al-Ashma’I untuk belajar ilmu dan adab, beliau adalah salah satu ulama besar yang menguasai bahasa Arab. Di sebuah kesempatan Harun Ar-Rasyid menyaksikan Al-Ashma’i sedang berwudhu dan membasuh kakinya, sedangkan putra Harun Ar-Rasyid menuangkan air untuk sang guru. Setelah menyaksikan peristiwa itu, Harun Ar-Rasyid pun menegur Al-Ashma’i atas tindakannya itu, “Sesungguhnya aku mengirimkan anakku kepadamu agar engkau mengajarinya ilmu dan adab. Mengapa engkau tidak memerintahkannya untuk menuangkan air dengan salah satu tangannya lalu membasuh kakimu dengan tangannya yang lain?”
Ini menunjukkan betapa terhormatnya guru atau orang yang berilmu. Sampai-sampai sekelas khalifah atau kepala negara masa itu harus mendatanginya untuk mendapatkan ilmu serta menasihati anak-anaknya untuk belajar dan menghormati guru. Sebagai orangtua, Harun Ar-Rasyid mempercayakan pendidikan anaknya kepada guru. Biaya yang dikeluarkan oleh beliau juga tak sedikit untuk memuliakan guru. Terlebih, guru juga diberi wewenang untuk mendidik anaknya sebagaimana anak-anak lain, tanpa harus sungkan karena mendidik anak khalifah.
Putra Ar-Rasyid, Al-Amin dan Al-Makmun pernah berebut sepasang sandal gurunya Al-Kisa’i. Keduanya berlomba untuk memasangkan sandal gurunya di kaki beliau, sehingga mengundang kekaguman sang guru. Gurunya lalu berucap, “Sudah, masing-masing pegang satu-satu saja.”
Hari ini kita melihat fenomena yang menyedihkan dimana hilangnya wibawa para guru, mereka tidak mendapatkan penghormatan dan penghargaan yang sepantasnya. Maka kiamat pendidikan adalah ketika wibawa guru telah hilang dan mereka sudah tidak dihormati lagi.
Keberkahan ilmu akan didapatkan oleh seorang murid manakala ia mampu menghormati gurunya, serta menjaga adab di depan guru. Namun sebaliknya, ketika seorang murid tidak menjaga adabnya di hadapan guru maka akan hilang keberkahan dari ilmu yang dia pelajari.
(Agus Abu Qory)
Sahabat Ali bin Abi Thalib, yang oleh Rasulullah SAW disebutkan sebagai pintu ilmu. Beliau mengatakan:
أنا عبد من علمني حرفا واحدا، إن شاء باع وإن شاء استرق
“Saya menjadi hamba sahaya orang yang telah mengajariku satu huruf. Terserah padanya, saya mau dijual, dimerdekakan ataupun tetap menjadi hambanya.”
Syaikh Az-Zarnuji dalam Ta’lim Al-Mut’allim mengisahkan, suatu saat Khalifah Harun Ar-Rasyid mengirimkan putranya kepada Imam Al-Ashma’I untuk belajar ilmu dan adab, beliau adalah salah satu ulama besar yang menguasai bahasa Arab. Di sebuah kesempatan Harun Ar-Rasyid menyaksikan Al-Ashma’i sedang berwudhu dan membasuh kakinya, sedangkan putra Harun Ar-Rasyid menuangkan air untuk sang guru. Setelah menyaksikan peristiwa itu, Harun Ar-Rasyid pun menegur Al-Ashma’i atas tindakannya itu, “Sesungguhnya aku mengirimkan anakku kepadamu agar engkau mengajarinya ilmu dan adab. Mengapa engkau tidak memerintahkannya untuk menuangkan air dengan salah satu tangannya lalu membasuh kakimu dengan tangannya yang lain?”
Ini menunjukkan betapa terhormatnya guru atau orang yang berilmu. Sampai-sampai sekelas khalifah atau kepala negara masa itu harus mendatanginya untuk mendapatkan ilmu serta menasihati anak-anaknya untuk belajar dan menghormati guru. Sebagai orangtua, Harun Ar-Rasyid mempercayakan pendidikan anaknya kepada guru. Biaya yang dikeluarkan oleh beliau juga tak sedikit untuk memuliakan guru. Terlebih, guru juga diberi wewenang untuk mendidik anaknya sebagaimana anak-anak lain, tanpa harus sungkan karena mendidik anak khalifah.
Putra Ar-Rasyid, Al-Amin dan Al-Makmun pernah berebut sepasang sandal gurunya Al-Kisa’i. Keduanya berlomba untuk memasangkan sandal gurunya di kaki beliau, sehingga mengundang kekaguman sang guru. Gurunya lalu berucap, “Sudah, masing-masing pegang satu-satu saja.”
Hari ini kita melihat fenomena yang menyedihkan dimana hilangnya wibawa para guru, mereka tidak mendapatkan penghormatan dan penghargaan yang sepantasnya. Maka kiamat pendidikan adalah ketika wibawa guru telah hilang dan mereka sudah tidak dihormati lagi.
Keberkahan ilmu akan didapatkan oleh seorang murid manakala ia mampu menghormati gurunya, serta menjaga adab di depan guru. Namun sebaliknya, ketika seorang murid tidak menjaga adabnya di hadapan guru maka akan hilang keberkahan dari ilmu yang dia pelajari.
(Agus Abu Qory)